Blog •  03/12/2019

Kedaulatan Pangan dengan Bertani Ramah Alam

Something went wrong. Please try again later...
  • Petani harus mengetahui cara pengelolaan pertanian yang baik, dan mengerti alur bisnis ini. Modernisasi pertanian, hal mutlak dengan tetap mengedepankan praktik-praktik pertanian berkelanjutan.
  • Suma Ruslian, petani mandiri di Sunyai Kunyit, Mempawah, Kalimantan Barat, mengelola pertanian terpadu, mengolah limbah atau kotoran ternak sapi jadi bio gas, mengolah urin sapi sapi jadi pupuk organik cair, dan kompos aktif maupun kompos mikrobakteri. Dia pun membuat pupuk organik cair biokultur dari kotoran sapi.
  • Komunitas Hidroponik Pontianak juga menerapkan pertanian tanpa pestisida dan pupuk kimia. Pasar hasil tanaman tanpa pupuk kimia ternyata terbuka luas.
  • Menurut Djojosumarto (2000), pada pertanian konvensional di Indonesia dengan penggunaan pestisida malah merugikan petani, antara lain, serangan hama tertentu meningkat setelah pengaplikasian insektisida pada padi. Dinamika ini memunculkan ide mengembangkan sistem pertanian yang dapat bertahan hingga generasi berikutnya dan tak merusak alam, yakni, pertanian berkelanjutan.

 

Bedeng-bedeng berjejer rimbun dengan tanaman mentimun. Buah hijau mengilat. Panjang rata-rata lebih 10 sentimeter. Beberapa tiang penyangga, melengkung lantaran sarat beban. Bedengan-bedengan ini merupakan percontohan milik Suma Ruslian, petani mandiri di Desa Sungai Kunyit, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat.

Suma, tadinya seorang banker. Pria 53 tahun ini pensiun dini kemudian menggeluti pertanian. Di bagian lain, Suma menanam labu air, sawi, dan berbagai tanaman lain. Ada juga cabai dengan buah nan merah cerah.

Di pekarangan belakang rumah Suma, jadi lahan percontohan untuk pertanian. “Jika tahu teknologi, petani manapun bisa mendapatkan hasil yang sama,” katanya, belum lama ini.

Kini, Suma sukses mencetak para petani modern, di lembaga pendidikan pertanian bentukannya. Dia pun tersohor se-tanah air. Ketertarikan Suma pada sektor pertanian berawal dari hobi. “Saya tergelitik mencari tahu agar produktivitas pertanian meningkat. Saya awalnya menanam pisang,” kata Suma, yang mengelola sekitar tiga hektar lahan miliknya.

Dia juga tanam pisang nipah, atau biasa disebut pisang kipas atau kepok. Suma mencari pasar. Beberapa tukang pisang goreng dia datangi.

Suma menyuplai pisang beberapa hari sekali. Ternyata pasar terbuka luas. Suma kewalahan melayani permintaan. Melihat peluang ini, dia pun melirik ke tanaman pertanian lain.

“Banyak yang tak mau jadi petani. Saya mau kasih lihat ke anak muda, pertanian ini sektor yang menjanjikan. Asal tahu bagaimana mengelolanya.”

Suma pun mengembangkan sistem agroteknologi. Agroteknologi merupakan kunci pembangunan pertanian di Indonesia. Kejayaan Indonesia sebagai negara agraris, katanya, bisa kembali berjaya dengan metode ini.

“Pemerintah harus mampu meyakinkan generasi muda bahwa sektor pertanian ini sangat menjanjikan agar profesi ini mau dilirik,” katanya.

Petani pun harus mengetahui cara pengelolaan pertanian yang baik, dan mengerti alur bisnis ini. Modernisasi pertanian, kata Suma, hal mutlak dengan tetap mengedepankan praktik-praktik pertanian berkelanjutan. Suma sendiri pernah diusulkan sebagai Perintis Lingkungan 2016.

Saat ini, dia mengelola pertanian terpadu, mengolah limbah atau kotoran ternak sapi jadi bio gas, mengolah urin sapi sapi jadi pupuk organik cair, dan kompos aktif maupun kompos mikrobakteri. Dia pun membuat pupuk organik cair biokultur dari kotoran sapi.

Di Pontianak, juga ada komunitas yang membuktikan, kalau bertani itu menjanjikan. Walau dengan lahan terbatas–karena terletak di ibukota provinsi- tak jadi kendala untuk bercocok tanam.

Sebuah komunitas hobi bercocok tanam, dengan nama Hidroponik Pontianak, membuktikan itu. Salah satu pegiatnya, Dayat Akbar Kurniawan.

Bersama beberapa rekan di komunitas itu, Yayat, sapaan akrabnya, memulai usaha.

Yayat sejak 2014, mengenal dunia tanam hidroponik. Bercocok tanam bersama teman lain yang membentuk Komunitas Hidroponik Pontianak sekadar hobi dan ternyata membuahkan hasil lumayan.

Pasar hasil pertanian tanpa pestisida dan pupuk kimia ternyata terbuka luas. “Kita jual langsung ke pembeli, untung lebih banyak ketimbang dititipkan ke pasar,” katanya.

Yayat sudah punya pelanggan tetap. Selain sayur lokal, dia pun mengembangkan jenis impor, seperti kale, selada, daun mint, stroberi dan tomat cherry.

Baik Suma maupun Yayat mempunyai pandangan sama soal bisnis pertanian. Keduanya memandang agroteknologi merupakan jawaban kebutuhan pangan masa datang. Agroteknologi, adalah teknik budidaya pertanian yang menggunakan sumber daya alam, dengan pendekatan ilmiah dan alamiah untuk mendapatkan perubahan lebih baik.

Penguatan petani

Saat ini, penguatan petani untuk menjawab tantangan pembangunan pertanian pun dijawab pemerintah daerah. Bank Indonesia di Kalimantan Barat, memberikan pembekalan latihan kepemimpinan dan peningkatan kapasitas gabungan kelompok tani (gapoktan), lembaga distribusi pangan masyarakat (LDPM), pengembangan usaha pangan masyarakat (PUPM) di Kalimantan Barat.

Sebanyak 120 gapoktan dari kabupaten dan kota di Kalbar digodok di Resimen Induk Daerah Militer (Rindam) XII/ Tanjungpura, di Singkawang. “Gapoktan harus punya bekal entrepreneurship bidang pertanian. Mereka harus punya kemampuan pengorganisasian yang baik, terutama mengelola amanah bantuan-bantuan pemerintah dan program ketahanan pangan,” kata Kepala Unit Koordinasi dan Komunikasi Kebijakan Kantor Perwakilan Wilayah Bank Indonesia Kalbar, Djoko Juniwarto.

Negara agraris yang menjadi predikat Indonesia, saat ini tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan petani. Sebagai negara berkembang, katanya, banyak sekali hal yang menghambat jalan menuju pertanian maju dengan menggunakan teknologi mumpuni. Salah satunya, sumber daya manusia atau petani. Petani, salah satu komponen dalam pembangunan pertanian di Indonesia.

Di negara maju, profesi petani dapat hidup sejahtera dengan penerapan teknologi. Sangat berbeda dengan petani di Indonesia. Di Amerika, menyerukan, profesi yang menjanjikan kekayaan warga adalah petani.

Alasannya, harga komoditas pangan dunia dalam beberapa waktu ke depan akan meningkat tajam mengalahkan bursa-bursa keuangan global. Terlebih dunia saat ini mulai dilanda krisis pangan.

Penguatan petani agar maju, mandiri dan modern bertujuan agar kesejahteraan mereka tercapai. Tak hanya itu, kata Djoko, penguatan petani secara kelembagaan dengan manajerial yang baik berbentuk korporasi juga menjadi tuntutan.

Para petani, wajib dibekali pengetahuan manajerial dan kepemimpinan. Petani diharapkan bertransformasi jadi pebisnis dan berjiwa kewirausahaan. Pengetahuan ini, katanya, mengubah pola pikir petani hingga mampu beradaptasi dengan perubahan teknologi untuk mengatasi tantangan masa kini.

Penguatan petani ini, kata Djoko, diharapkan dapat menjadi acuan nasional dan program berlanjut di Kalbar. Saat ini, ada 55 gapoktan LDPM di Kalbar binaan BI dan Dinas Peternakan dan Pangan Kalbar dan ada 22 PUPM.

Secara nasional, pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) membuat rencana aksi rawan pangan. Salah satunya, dengan program pengembangan korporasi usaha tani (PKU), terutama di daerah dengan indeks ketahanan pangan rendah. Idenya, pasar penjualan akan dijamin dengan regulasi peraturan gubernur yang mewajibkan semua industri pariwisata menyerap minimal 20% produk lokal.

Langkah ini, katanya, diambil pemerintah agar tak sekadar meningkatkan kemandirian pangan dan kesejahteraan petani, juga menaikkan level indeks ketahanan pangan berstandar internasional.

Ke depan, petani yang tergabung dalam gapoktan mampu memasarkan produk olahan dalam bentuk lembaga usaha berbadan hukum. Lembaga hukum petani dapat meningkatkan kapasitas dan posisi tawar, yang bermuara pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani itu sendiri.

Kantor Perwakilan Wilayah Bank Indonesia (KPwBI) Kalbar sejak 2012, sudah penguatan gapoktan melalui program LDPM, ini program dari Badan Ketahanan Pangan Kementan melalui Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan (BKPP) Kalbar.

Djoko mengatakan, penguatan yang dilakukan antara lain melalui program sosial bank Indonesia (PSBI) sub tema ketahanan pangan strategis gapoktan dengan memberi bantuan alat penggiling gabah atau rice milling unit (RMU). “Ini dilakukan agar mereka dapat menghasilkan nilai tambah dengan menyerap gabah anggota dan menjual dalam bentuk beras,” katanya.

Secara berkala mengadakan rakor gapoktan guna meningkatkan kapabilitas dan kompetensi pengurus. Kini, program LDPM oleh BKP Kementan berkembang jadi PUPM. Oleh BKP Kementan melalui Dinas Pangan, Peternakan dan Kesehatan Hewan Kalbar diberi bantuan biaya operasional Rp60 juta dengan kewajiban menjual beras dengan harga Rp8.800 melalui Toko Tani Indonesia (TTI) dan Toko Tani Indonesia Center (TTIC).

Pertanian berkelanjutan

Pertanian konvensional cenderung memiliki biaya produksi tinggi. Petani tergantung pada bahan-bahan kimia dalam mengatasi masalah dan meningkatkan produktivitas tani. Menurut Djojosumarto (2000), pada pertanian konvensional di Indonesia dengan penggunaan pestisida malah merugikan petani, antara lain, serangan hama tertentu meningkat setelah pengaplikasian insektisida pada padi.

Dinamika ini memunculkan ide mengembangkan sistem pertanian yang dapat bertahan hingga generasi berikutnya dan tak merusak alam, yakni, pertanian berkelanjutan.

Pemilihan praktik pertanian berwawasan lingkungan dan berkelanjutan ini menggambarkan tingkat pertanian maju. “Jadi, pelaku utama, yakni petani butuh pemahaman baru agar beralih dari pertanian konvensional,” kata Suma.

Bahkan, pengembangan pertanian berkelanjutan kini jadi acuan baru bagi negara-negara agraris di dunia. Karena itu, pemerintah perlu lebih banyak mencetak banyak petani dengan wawasan keberlanjutan. Termasuk menciptakan program-program untuk regenerasi petani.

Secara nasional, sektor pertanian berhadapan dengan realita terjadi penurunan petani setiap tahun. Data statistik, dari 2010-2017, persentasi petani menurun 1,1% per tahun. Pada 2010, setidaknya terdapat 42,8 juta petani. Pada 2017, menjadi 39,7 juta petani.

Padahal, katanya, pertanian sektor penyerapan tenaga kerja cukup tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga Februari 2017, tercatat penyerapan tenaga kerja di pertanian, perikanan dan perkebunan sebanyak lebih dari 39 juta jiwa atau 31,8%. Angka ini tertinggi dibandingkan sektor perdagangan hanya 23%, jasa 16%, industri 13% dan kostruksi 5%.

Saat ini, yang jadi petani adalah orang tua. Anak muda sedikit sekali yang melirik sektor ini. “Banyak yang memilih kerja di pemerintahan, pergi ke kota. Berpikir, untung kecil, dan kerja berat. Padahal, belum tahu celahnya,” kata Suma.

Suma mengatakan, salah satu kendala profesi petani ini dilirik generasi muda adalah kemudahan modal usaha.

Petani wawasan berkelanjutan, katanya, bisa jadi solusi masalah alih fungsi lahan pertanian di Kalbar. Dalam seminar Kajian Alih Fungsi Lahan Sawah dan Strategi Pengendaliannya, September lalu, alih fungsi lahan pertanian ini berdampak pada ketersediaan pangan di Kalbar.

Radian, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura memaparkan, dari pencitraan satelit menunjukkan, alih fungsi lahan pertanian menjadi perkebunan. “Faktor penyebab alih fungsi lahan, adalah kependudukan, ekonomi, sosial budaya, perilaku myopic, dan Undang-undang,” katanya.

Konversi lahan pertanian menyebabkan lapangan kerja bergeser dari sektor pertanian ke non pertanian. “Apabila tenaga kerja lokal tak terserap seluruhnya justru meninggikan angka pengangguran. Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan sarana pengairan menjadi tidak optimal serta berkurangnya ekosistem sawah.”

Pada 2018, Kalbar memiliki sawah 239.077,7 hektar dan total laju alih fungsi lahan mencapai 66.600,5 hektar. Luas sawah yang jadi perkebunan 3.327,1 hektar, atau 1,09%. Sawah jadi lahan terbangun 2.265,65 hektar atau 0,74%.

Selain itu, alih fungsi lahan sawah jadi ladang 36.932,62 hektar atau 12,08%, dan jadi kebun campuran 22.987,34 hektar atau 8%. “Persentase alih fungsi lahan terbesar tertinggi terjadi di Kayong Utara 45,1%, menyusul Kubu Raya 35,4%, dan Landak 34,6%,” katanya.

Heronimus Hero, Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, mengatakan, alih fungsi merupakan keniscayaan. “Ini yang menjadi tantangan dalam mewujudkan pertanian berkelanjutan,” katanya, seraya bilang, penyebabnya pengawasan longgar oleh pemerintah kabupaten dan kota.

Kondisi ini, katanya, karena tak ada lembaga yang mengawasi masalah konversi secara ketat. Padahal, peraturan gubernur yang melarang alih fungsi lahan pertanian sudah ada. Selain itu, acuan data juga jadi masalah.

Saat ini, katanya, acuan dalam implementasi lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) menggunakan data ATR/BPN dengan data sawah eksisting. “Padahal ini keliru.”

Alasannya, data LP2B lebih besar dari luas sawah, sedangkan sawah merupakan bagian dari LP2B. LP2B, melingkup semua lahan baik bagi pangan maupun hortikultura.

Menurut dia, kabupaten/kota seharusnya menghitung kebutuhan pangan berdasarkan konsumsi penduduk di daerah. Dengan perhitungan ini, sekaligus memproyeksikan keperluan pangan di masa mendatang berdasarkan pertumbuhan penduduk.

Mempertahankan areal sawah, selaras dengan keinginan Gubernur Kalbar, Sutarmidji. Dia bertekad jadikan Kalbar lumbung pangan beras se-Kalimantan. Dia meyakini, Kalbar memiliki area pertanian luas dan sumber daya mencukupi. “Ke depan, siapa yang menguasai pangan itulah yang menang,” kata Sutarmidji.

Pada 2018, kata Sutarmidji, dari 174 kecamatan di Kalbar, sekitar 38,5% masuk kategori tahan dan sangat tahan dalam memenuhi kebutuhan atau mandiri pangan. Di Kalbar, tak ada daerah tergolong sangat rentan pangan.

Dinas Pangan, Peternakan dan Kesehatan Hewan, lakukan program ketahanan pangan. “Kita adakan program petani masuk sekolah. Tahun 2020, akan digencarkan lagi, lewat guru serta kepala sekolah. Pertanian itu akan diperkenalkan, bukan hanya di SMK, juga sekolah-sekolah umum. Tentu harus menarik, (misal) pertanian dengan teknologi,” kata Muhammad Munif, Kepala Dinas Pangan, Peternakan dan Kesehatan Hewan Kalbar.

Dengan begitu, katanya, bisa mendorong generasi muda meciptakan teknologi baru berbasis pangan. “Di Jawa, ada anak SMP menemukan alat untuk mengolah gabah dengan teknologi , seperti robot,” katanya.

Teknologi, katanya, mau tidak mau harus hadir di keseluruhan proses pertanian maupun pangan.

Komunitas petani pun telah didekatkan dengan teknologi digital. Teknologi yang digerakkan anak muda ini memudahkan petani menjalankan usaha dari tanam sampai ke pemasaran. “Termasuk membangun gapoktan dengan prinsip kemitraan untuk peningkatan produksi dan pendapatan usaha tani bagi anggota dan petani lain,” kata Munif.

Sumber: Mongbay