Blog •  17/10/2021

lkhtiar Memutus Lingkaran"Pedas" Cabai

Something went wrong. Please try again later...

Bisnis budidaya cabai ibarat judi. Suatu saat petani mengantongi laba berlimpah sehingga mampu membeli mobil. Namun beberapa bulan kemudian petani itu terpaksa melepas kendaraannya untuk mendapatkan modal menanam cabai kembali karena merugi dalam jumlah besar.

Itu fakta yang diungkap Juhara, Ketua Champion Cabai Jawa Barat. Ia mengakui, faktor utama harga cabai meluncur bebas karena petani latah.

Harga cabai rawit merah pada awal 2021 menyentuh Rp 90 ribu/kg ditingkat konsumen sangat menggairahkan bagi petani. Desember, Januari, Februari harga cabai tinggi, petani tanam semua. Stok pun melimpah sehingga akhir Agustus harga anjlok tinggal Rp 4.000-Rp 6.000/kg(cabai keriting) ditingkat petani Pangalengan, Bandung. Jabar. Sementara harga cabai rawit hanya Rp 8.000/kg. Petani pun dirundung kerugian luar biasa.

"Contoh nyata, saya tanam cabai jual mobil, motor karena hidup harus berlanjut. Sedangkan tetangga saya tanam tomat bisa beli mobil karena harga tomat mahal, besok saya tanam tomat. Hampir semua petani pola pikirnya seperti ini. Kemarin tanam cabai modal habis tidak bisa lagi tanam, area tanam cabai berkurang akan mempengaruhi produksi, petani akan beralih tanam yang harganya mahal," terang pemilik lahan 10 ha tersebut kepada AGRINA

Menurut Ketua Umum Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) Abdul Hamid, harga cabai merosot tiga bulan lalu disebabkan tingginya produksi yang tidak terserap secara optimal. "Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mempengaruhi serapan pasar. Restoran buka waktunya dibatasi bahkan ada yang tutup, tidak ada acara pesta hingga serapan cabai sedikit," katanya saat dihubuni AGRINA (29/9).

Alternatif Solusi

Untuk mencegah terjadi siklus tahunan yang "pedas" tersebut berulang, menurut Juhara, yang bertanam di Pangalengan, Bandung. Jawa Barat pernah menerapkan pola tanam yang terjadwal bagi masing-masing petani atau per wilayah. Namun, saat petani A tanam dan panen harga jual tidak bagus, sedangkan giliran petani B tanam mendapatkan harga lumayan. Walhasil pola ini tersingkirkan. Sebenarnya penerapan pola tanam ini diterapkan secara nasional, dapat terlihat kebutuhan cabai di masing-masing wilayah dan bisa juga dilakukan budidaya di luar musim (off-season) pada bulan-bulan suplai tipis.

"Masalah dapat terpecahkan, antara kebutuhan seimbang dengan produksi dan fluktuasi tidak begitu tajam. Pola ini butuh kolaborasi atau bahkan aturan tertulis. Sementara di Sisi petani memiliki ego, lahan miliknya, modal sendiri, apakah mau diatur? Saya dan teman-teman tetap mencari jalan terbaik permasalahan harga cabai," cetus Juhara.

Soekam Parwadi, Direktur Pengembangan Agribisnis Pasar Komoditi Nasional (Paskomnas) menawarkan solusi lain. Pertama, membentuk pasar induk di setiap kota besar. Pasar induk secara teknis bekerja sama dengan petani setempat dan memberikan kepercayaan bahwa petani siap menyuplai komoditas strategis sesuai angka yang ditetapkan.  

Cabai dipasarkan melalui kota besar karena kebutuhan dominan ada di pusat kota sehingga pasar induk sebagai pusat distribus sangat dibutuhkan.

Kedua, pasar induk yang membawahi pasar-pasar kecil berperan sebagai stabilisator harga. "Pasar induk hanya untuk penjualan grosiran. Bagusnya, kota besar, kota sedang, atau kota kecil ada pasar induk," katanya.

Penerapan skema kerja sama pasar induk dan petani harus jelas agar harga komoditas strategis, termasuk cabai, tidak melorot. Setiap daerah harus memiliki data kebutuhan masing-masing komoditas agar kebutuhan dan kapasitas pasarnya terpenuhi. Misalnya, pasar Tangerang butuh cabai rawit merah 40-45 ton/hari. Paskomnas Tangerang memasoknya dari petani Jawa Barat. Garut 25 ton/hari, Sukabumi 5 ton/hari, kerja sama diterapkan secara masif. "Siapa saja yang ingin suplai, koperasi petanikah, gapoktan silakan, tapi harus kontinu dan sesuai kesepakatan," kata Soekam. Kemitraan Closed-Loop Agribisnis Hortikultura yang dirintis Kemenko Perekonomian juga diharapkan jadi alternatif solusi percabaian. "Dalam kemitraan closed-loop dibangun ekosistem rantai pasok dan rantai nilai dari hulu sampai hilir yang terintegrasi dan bersifat end to end model. Petani diajari budidaya sesuai GAP dengan memperhatikan pola tanam, pola panen, penanganan pascapanen hingga distribusi dan pemasaran untuk menghasilkan produk berkualitas sesuai kebutuhan pasar. Program in dilengkapi kemudahan akses permodalan serta kemudahan akses distribusi dan logistik," ungkap Yuli Sri Wilanti, Asisten Deputi Pangan dan Agribisnis, Kemenko Perekonomian.

Dalam percontohan di Sukabumi, Jabar, Kemenko merangkul Kadin, Pemkab Sukabumi, IPB University, penyedia sarana produksi (benih-PT East West Seed Indonesia, pestisida-PT Syngenta Indonesia, pupuk-PT Pupuk Indonesia), sarana pertanian pintar (PT MSMB), Bank BNI, PT Paskomnas Indonesia, Poktan Tani Mandiri, dan Koperasi Produsen Tani Mandiri Sejahtera Sukabumi. 

Kemitraan tersebut berlokasi di Desa Selaawi, Kec.Sukaraja. Skenarionya, Poktan Tani Mandiri memasok cabai rawit merah, buncis, dan sawit putih ke Paskomnas. Ketika AGRINA berkunjung 21 September, koperasi baru mampiu menyediakan cabai rawit merah varietas Rawita sebanyak 50 kg/minggu, padahal yang dibutuhkan paling tidak

2 kuintal/hari. Menurut Soekam yang hadir di Sukabumi, harga kontrak cabai rawit ditentukan di depan dan berlaku seminggu. Misal, harga kontrak (HK) Rp18 ribu/kg. Saat itu harga pasar (HP) sedang murah, Rp10 ribu/kg. Harga yang diterima koperasi petani(HKP) adalah HP + (HK-HP)/2 = Rp14 ribu/kg, masih lebih baik ketimbang harga pasar. Sebaliknya pas harga pasar tengah melambung, rumusnya: HKP=HP-(HP-HK)/2.'"Kami membangun kontrak pasok untuk memenuhi pasar khusus online dan offline, yaitu eceran untuk ibu rumah tanga lewat carisayur.com, kulakan lewat paskomnas.com, dan pasar kecil lewat asparindogrosir.com. Saya butuh pasokan dari petani atau kelompok tani dalam jumlah yang memadai. Kemitraan minimal 15 ha. Untuk bisa memasok 12 komoditas (cabai, tomat buah,kentang granola, wortel, selada keriting, dan pakcoi) sebanyak 7.500 kg sehari, butuh lahan 104 ha," terang penasihat AACI Jatim itu.

Hambatan Teknis

Petani cabai tak hanya menghadapi soal pasar, Hambatan teknis seperti dampak perubahan iklim dan serangan organism pengganggu tumbuhan(OPT) juga cukup menantang. Apalagi saat peralihan musim kemarau ke penghujan sat ini. Terkait teknis budidaya cabai yang baik, Hamid menganjurkan petani untuk menyehatkan tanah terlebih dulu sebagai media pertumbuhan tanaman dan sumber mineral tanaman. "Jangan hanya tanam, pengolahan tanah dibenahi agar tidak gagal atau terserang hama dan penyakit. Misal, pH disesuaikan kebutuhan tana man," katanya. Dari sisi OPT, Karnoto, petani cabai di Desa Made, Kecamatan Sambikerep, Surabaya, Jatim, mengeluhkan, hama yang sering muncul pada musim tanam sat ini adalah ulat grayak (Spodopteralitura). Sementara saat AGRINA ke Sukabumi, banyak cabal rawit yang ditanam pas musim kemarau, terserang virus Gemini, Virusini ditularkan oleh kutu kebul (white fly) atau Bemisia tabaci. Untuk mencegah serangan OPT, Chakry S. Phong, Manajer Weed Control and Sentricon, PT Corteva Agriscience Indonesia, menganjurkan petani lebih sering memantau tanamannya di lapangan sebagai langkah antisipasi.

Dengan manajemen yang baik, petani bisa meminimalkan kerusakan. Hal ini diawali dengan mengidentifikasi masalah, mendapatkan diagnosis yang tepatseawal mungkin, lalu mengambil langkah yang sesuai. Pada musim seperti ini, alumnus Universiti Tunku Abdul Rahman, Malaysia, tersebut, mengatakan, serangga hama yang sering menyerang adalah Thrips sp., Bemisia sp. (kutu kebul), dan Spodoptera sp. (ulat grayak). Sementara jenis penyakit yang umum adalah Colletotrichum (antraknosa atau patek) dan Cercospora capsici (bercak daun). Chakry menekankan, pengendalian OPT dapat dilakukan dengan kombinasi car manual, pe milihan benih yang cocok, juga aplikasi pestisida.

Untuk mengatasi hama serangga pada cabai, la merekomendasikan Endure" 120 SC, pengendali ulat grayak dengan dosis 400-600 mi/ha, volume semprot 404! 600 liter/ha. Aplikasinya pada umur 18 dan 22 hari setelah tanam (HST]. Lannate 40SP, pengendali Thrips dan kutu kebul dengan dosis 1-2 g/liter. Sedangkan pengendali penyakit bercak Cercospora adalah Dithane® M-45 80 P yang disemprotkan dengan dosis 6 g./'liter menggunakan volume tingqi.

Acapela System 280 SC, pengendali antraknosa, diaplikasikan dua kali, umur 10-14 HST dengan dosis 700 ml/ha, volume semprotnya 200-300 liter/ ha.

Sumber: Agrina